Pendahuluan
Anomie adalah sebuah
istilah yang diperkenalkan oleh Emile Durkheim untuk
menggambarkan keadaan yang kacau, tanpa peraturan. Kata ini berasal dari bahasa
Yunani a-: "tanpa", dan nomos: "hukum"
atau "peraturan".
A.
Anomie
sebagai kekacauan pada diri individu
Keadaan atau kekacauan dalam diri individu, yang
dicirikan oleh ketidakhadiran atau berkurangnya standar atau nilai-nilai dan
ketiadaan tujuan yang menyertainya. Anomie sangat umum terjadi apabila masyarakat
sekitarnya mengalami perubahan-perubahan yang besar dalam situasi ekonomi,
Dalam pandangan
Durkheim, agama-agama tradisional seringkali memberikan dasar bagi nilai-nilai
bersama yang tidak dimiliki oleh individu yang mengalami anomie. Robert King Merton mendefinikan
tentang anomie sebagai kesenjangan antara tujuan-tujuan sosial bersama dan
cara-cara yang sah untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Dengan kata lain,
individu yang mengalami anomie akan berusaha mencapai tujuan-tujuan bersama
dari suatu masyarakat tertentu, namn tidak dapat mencapai tujuan-tujuan tersebut
dengan sah karena berbagai keterbatasan sosial. Akibatnya, individu itu akan
memperlihatkan perilaku menyimpang untuk memuaskan
dirinya sendiri.
B. Anomie sebagai kekacauan
masyarakat
Anomie
merupakan suatu masyarakat atau kelompok manusia di dalam suatu masyarakat,
yang mengalami kekacauan karena tidak adanya aturan-aturan yang diakui bersama
mengenai perilaku yang baik, atau, lebih parah lagi, terhadap aturan-aturan
yang berkuasa dalam meningkatkan isolasi atau bahkan saling memangsa dan bukan
kerja sama.
Menuurut Friedrich Hayek Anomie sebagai kekacauan sosial tidak
boleh dikacaukan dengan "anarkhi". Kata
"anarkhi" menunjukkan tidak adanya penguasa, hierarkhi, dan komando,
sementara "anomie" menunjukkan tidak adanya aturan, struktur dan
organisasi.
Teori
anomi adalah Teori tentang ketidakseimbangan nilai dan norma dalam masyarakat
sebagai penyebab penyimpangan, di mana tujuan-tujuan budaya lebih ditekankan
dari pada cara-cara yang tersedia untuk mencapai tujuan-tujuan budaya itu.
Individu dan kelompok dalam masyarakat seperti itu harus menyesuaikan diri dan
beberapa bentuk penyesuaian diri itu bisa jadi sebuah penyimpangan. Sebagian
besar orang menganut norma-norma masyarakat dalam waktu yang lama, sementara
orang atau kelompok lainnya melakukan penyimpangan. Kelompok yang mengalami
lebih banyak ketegangan karena ketidakseimbangan ini (misalnya orang-orang
kelas bawah) lebih cenderung mengadaptasi penyimpangan daripada kelompok
lainnya.
Teori Labeling
Teori ini memperkirakan bahwa pelaksanaan kontrol sosial menyebabkan
penyimpangan, sebab pelaksanaan kontrol sosial tersebut mendorong orang masuk
ke dalam peran penyimpang. Ditutupnya peran konvensional bagi seseorang dengan
pemberian stigma dan label, menyebabkan orang tersebut dapat menjadi penyimpang
sekunder, khususnya dalam mempertahankan diri dari pemberian label. Untuk masuk
kembali ke dalam peran sosial konvensional yang tidak menyimpang adalah berbahaya
dan individu merasa teralienasi. Menurut teori labeling, pemberian sanksi dan
label yang dimaksudkan untuk mengontrol penyimpangan malah menghasilkan
sebaliknya.
Munculnya teori Labeling menandai mulai digunakannya
metode baru untuk mengukur atau menjelaskan adanya kejahatan yaitu melalui
penelusuran kemungkinan dampak negatif dari adanya reaksi sosial yang
berlebihan terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan.
Konsep teori labeling menekankan pada dua hal, pertama, menjelaskan permasalahan mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi label, dan kedua, pengaruh dari label tersebut sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku kejahatan.
Konsep teori labeling menekankan pada dua hal, pertama, menjelaskan permasalahan mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi label, dan kedua, pengaruh dari label tersebut sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku kejahatan.
Menurut Frank Tannenbaum (1938),
kejahatan bukan sepenuhnya dikarenakan individu kurang mampu menyesuaikan diri
dengan kelompok, tetapi dalam kenyataannya, individu tersebut telah dipaksa untuk
menyesuaikan diri dengan kelmpoknya. Oleh karena itu, kejahatan terjadi karena
hasil konflik antara kelompok dengan masyarakat yang lebih luas, di mana
terdapat dua definisi yang bertentangan tentan tingkah laku mana yang layak.
Schrag (1971) memberikan
simpulan atas asumsi dasar teori labeling, yaitu sebagai berikut:
(1). Tidak ada
satu perbuatan yang terjadi dengan sendirinya bersifat kriminal
(2). Rumusan
batasan tentang kejahatan dan penjahat dipaksakan sesuai dengan kepentingan
mereka yangmemiliki kekuasaan.
(3). Seseorang
menjadi penjahat bukan karena ia melanggar undang-undang, melainkan karena ia
ditetapkan demikan oleh penguasa
(4). Sehubungan
dengan kenyataan di mana setiap orang dapat berbuat baik atau tidak baik, tidak
berarti bahwa mereka dapat dikelompokkan menjadi dua bagian kelompok: kriminal
dan non-kriminal
(5). Tindakan
penangkapan merupakan awal dari proses labeling
(6). Penangkapan
dan pengambilan keputusan dalam system peradilan pidanan adalah fungsi dari
pelaku/penjahat sebagai lawan dari karakteristik pelanggarannya.
(7). Usia,
tingkatan sosial-ekonomi, dan ras merupakan karateristik umum pelaku kejahatan
yang menimbulkan perbedaan pengabilan keputusan dalam system peradilan pidana
(8). Sistem
peradilan pidana dibentuk berdasarkan perspektif kehendak bebas yang
memperkenankan penilaian dan penolakan terhadap mereka yang dipandang sebagai
penjahat.
(9). Labeling
merupakan suatu proses yang akan melahirkan identifikasi dengan citra sebagai deviant(orang yang menyimpang) dan
sub-kultur serta menghasilan “rejection of the rejector”(penolakan dari penolakan)
(dikutip dari Hagan, 1989: p. 453-454)
Edwin Lemert (1950) memberikan perbedaan mengenai konsep teori
labeling ini, yaitu primary deviance dan secondary deviance. Primary
deviance ditujukan kepada perbuatan penyimpangan tingkah laku awal.
Kelanjutan dari penyimpangan ini berkaitan dengan reorganisasi psikologis dari
pengalaman seseorang karena cap yang dia terima dari perbuatan yang telah
dilakukan. Ketika label negatif diterapkan begitu umum dan begitu kuat sehingga
menjadi bagian dari identitas yang individual, ini yang kemudian diistilahkan
Lemert penyimpangan sekunder. Individu yang telah mendapatkan cap tersebut
sulit melepaskan diri dari cap yang dimaksud dan cenderung untuk bertingkah
laku sesuai dengan label yang diberikan (mengidentifikasi dirinya sebagai
pelaku penyimpangan/penjahat)
Teori ini memiliki kesesuaian dengan Perspektif Pluralis(pandangan banyak orang).
Dalam perspektif itu dikatakan bahwa perbedaan antar kelompok terletak pada
benar atau tidak benar. Hal ini selaras dengan pengertian labeling sebagai
bentuk penilaian orang lain terhadap benar atau tidak benarnya tingkah laku
seseorang di dalam masyarakat. Penilaian ini muncuk karena adanya proses
interaksi diantara masing-masing individu. Paradigma yang sesuai adalah
Paradigma Interaksionis, di mana paradigma ini menekankan kepada perbedaan
psikologi-sosial dari kehidupan manusia. Paradigma ini memandang bahwa
kejahatan merupakan suatu kualitas dari reaksi sosial masyarakat terhadap suatu
tingkah laku atau perbuatan, di mana dalam teori labeling dijelaskan bahwa
tingkah laku seseorang menjadi tidak benar karena ada proses labeling atau cap
terhadap tingkah laku tersebut sebagai tingkah laku kejahatan.
Ilustrasi singkat yang dapat lebih menjelaskan teori ini adalah
seseorang yang baru saja keluar dari penjara. Ketika dia menjalani hukuman
penjara karena perbuatan yang dia lakukan di masa lalu, sesungguhnya dia telah
mengalami proses labeling, yaitu keputusan dari penguasan yang menyatakan bahwa
dia adalah penjahat dan patut untuk dihukum penjara (sesuai ketentuan yang
diutarakan oleh Schrag, penangkapan adalah proses labeling). Setelah keluar
dari penjara tersebut, masyarakat akan tetap menilainya sebagai penjahat karena
cap yang telah melekat pada dirinya (sulit melepaskan label). Terjadi interaksi
antara individu yang baru keluar dari penjara tersebut dengan masyrakatnya,
dan interaksi itu menghasilkan kesimpulan bahwa dia dicap sebagai penjahat
meskipun sudah dunyatakan bebas. Hal ini kemudian akan berpengaruh kepada
kehidupan, mental, dan sisi psikologis seseorang tersebut, yang kemudian
menghambat karir atau usahanya untuk bertahan, seperti misalnya sulit
mendapatkan pekerjaan atau mendapatkan kembali kepercayaan dari orang-orang.
Dampak seperti ini kemudian menyebabkan seseorang tersebut akhirnya mengulangi
perbuatannya dan akhirnya mendidentifikasi dirinya sebagai penjahat.
Mau DOWNLOAD filenya Klik Disini
Mau DOWNLOAD filenya Klik Disini
0 Response to "Makalah Teori Anomie dan Labeling"
Post a Comment