Masalah kejahatan Kekerasan
Suatu Perspektif Teoritis
Pendahuluan
Salah satu persoalan yang
sering muncul ke permukaan dalam kehidupan masyarakat ialah tentang kejahatan
pada umumnya, terutama mengenai kejahatan dengan kekerasan. Masalah kejahatan
merupakan masalah pribadi dalam kehidupan umat manusia, karena ia berkembang sejalan
dengan perkembangan tingkat peradaban umat manusia.
Berkaitan
dengan masalah kejahatan, maka kekerasan sering merupakan pelengkap dari bentuk
kejahatan itu sendiri. Bahkan ia telah membentuk suatu cir tersendiri dalam
khasanah tentang studi kejahatan. Semakin menggejala dan menyebar luas
frekuensi kejahatan yang diikuti dengan kekerasan dalam masyarakat, maka
semakin tebal keyakinan masyarakat akan penting dan seriusnya kejahatan semacam
ini. Dengan demikian, pada gilirannya model kejahatan ini telah membentuk
presepsi yang khas di kalangan masyarakat.
Terhadap
isu tentang kejahatan dengan kekerasan ini, ada dua persoalan yang perlu
dijernihkan yaitu pertama:apakah kekerasan itu sendiri merupakan suatu
kejahatan? Dan kedua: apa yang dimaksud dengan kejahatan kekerasan?
A. Pengertian,
Lingkup dan Bentuk Kejahatan Dengan Kekerasan
Pengertian
Pengertian istilah kekerasan atau la violencia di colombia,
the vandetta barbaricina di Sardinia, Italia, atau la vida vale nada (life is
worth nothing) di el Savador yang ditempatkan dibelakang kata kejahatan
sering menyesatkan khalayak. Karena sering ditafsirkan seolah-olah sesuatu yang
dilakukan dengan “kekerasan” dengan sendirinya merupakan kejahatan.
Menurut
para ahli, kekerasan yang digunakan sedemikian rupa sehingga mengakibatkan
terjadinya kerusakan, baik fisik maupun psikis adalah kekerasa yang
bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu merupakan kejahatan. Dengan pola
pikir tersebut, maka istilah kekerasan atau violence semakin jelas yaitu :
All types illega behavior,
either threatened or actual that result in the damage or destruction of
proverty or in yhe injury or death of an individual.
Bertitik
tolak pada definisi diatas, tampak bahwa kekerasan merujuk pada tingkah laku
yang pertama-tama harus bertentangan dengan undang-undang, baik berupa ancaman
saja maupun sudah merupakan suatu tindakan nyata dan memiliki akibat-akibat
kerusakan terhadap harta benda atau fisik atau mengakibatkan kematian pada
seseorang.
Dilihat
dari perspektif kriminologi, kekerasan ini merujuk pada tingkah laku yang
berbeda-beda baik mengenai motif maupun mengenai tindakannya, seperti perkosaan
dan pembunuhan, kedua macam kejahatan ini diikuti dengan kekerasan.
B. Bentuk-bentuk
kejahatan dengan kekerasan
Kejahatan
dengan kekerasan sesungguhnya merupakan salah sat subspesies dari violence.
Klasifikasinya sebagai berikut :
1.
Emotional
and instrumental violence
2.
Random
or Individual Violence
3.
Colective
Violence
Pengertian istilah criminally violence dan criminal violence atau ada yang menyebut
dengan istilah crime of violence, sesungguhnya hanya merujuk kepada
kejahatan-kejahatan tertentu saja:pembunuhan, perkosaan, penganiayaan berat,
perampokan bersenjata dan penculikan. Kejahatan-kejahatan diatas digolongkan
sebagai kejahatan individual, sementara itu yang termasuk kejahatan kekerasan
kolektif adalah erkelahian antar geng remaja yang menimbulkan kerusakan harta
benda/luka-luka berat/kematian.
Memperhatikan pengertian dan bentuk kejahatan kekerasan
sebagaimana telah diuraikan di atas, satu-satunya karakteristik dari model
kejahatan dengan kekerasan ini adalah adanya agresivitas atau apa yang
dinamakan dengan assaultive conduct. Gibbons membedakan dua macam assaultive conduct yaitu :
1.
Situational
or sub-cultural in character
2.
Individualistic
or psychogenic in character
C. Hubungan
antara kultur dan subkultur
Hubungan kedua unit tersebut erat sekali karena
subkultur merupakan bagian yang tak terpisakhan dari kultur. Nelter
mengungkapkan sebagai berikut :
Sub-culture
exist since groups share some element of a sommon culture
while
retaining different cultural tastes.
Inti pengertian dari subkultur di atas tampak bahwa
subkultur tersebut masi menerima dan mengakui adanya kesamaan unsur-unsur
budaya dengan apa yang dinamakan dominant
culture atau parent culture atau
yang dianut masyarakat.
Subkultur kekerasan(subkulture if violence)
Wolfgang
dan ferracuti di Sardinia Italia mengungkapkan dalam teori subkultur kekerasan
bahwa tiap penduduk yang terdiri atas kelompok etnik tertentu dan kelas-kelas
tertenti memiliki sikap berbeda-beda tentang penggunaan kekerasan. Sikap yang
mendukung penggunaan kekerasan diwujudkan ke dalam seperangkat norma yang sudah
melembaga dalam kelompok tertentu dalam masyarakat. Dengan pemikiran tersebut,
Wolfgang dan ferracuti menegaskan bahwa “subculture
of violence repsesent values that stand a part from the dominant, central of
parent culture of society”.
Konsep
subculture of violence ini
dilandaskan pada hasil penelitian yang hendak mengetahui ada tidaknya perbedaan
rates of violence di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat di Sardinia.
Dari hasil penelitian tersebut dapatt disimpulkan bahwa tidak semua orang dalam
setiap kelompok memiliki nilai-nilai yang dicerminkan dalam subkultur kekerasan
atau sebaliknya subkultur nonkekerasan.
Dari
hasil penelitian Wolfgang dan ferracuti, penulis mempunyai pendapat bahwa
pengertian istilah subculture of violence
berbeda secara prinsipil dengan apa yang disebut violence as a subculture. Apabila pengertian subculture of violence
merujuk pada suatu budaya kelompok-kelompok dalam masyarakat atau lebih tepat
disebut “life style”(bukan fashion) yang memiliki ciri khas kekerasan yang
bersifat tetap dan melembaga, namun tetap mengakui dan masih menerima
nilai-nilai dari kultur yang dominan, maka pengertian istilah violence as a subculture merujuk pada
budaya. kekerasan semata-mata yang dianut kelompok-kelompok tertentu dalam
masyarakat. Sikap kelompok masyarakat tersebuttidak memiliki lagi toleransi
terhadap nilai-nilai yang dianut oleh dominant
culture. Bahkan justru mereka menolak sama sekali eksistensi nilai-nilai
dimaksud.
D. Perspektif Teori Kriminologi Tentang Kejahatan
Dengan Kekerasan
Perspektif
teori kriminologi untuk membahas masalah kejahatan pada umumnya memiliki dimensi
yang amat luas. Terdapat tiga titik
pandang dalam melakukan analisis terhadap masalah kejahatan , yaitu : pertama, yang disebut titik pandang
secara makro atau macrotheories, kedua, yang disebut microtheories dan ketiga disebut bridging
theories.
Macrotheories adalah teori-teori yang
menjelaskan kejahatan dipandang dari
segi struktur sosial dan dampaknya. Teori-teori in menitikberatkan rates of crime atau epidermiologi kejahatan daripada atas pelaku kejahatan. Sebagai
contoh, teori anomi dan teori konflik. Sementara itu microtheories adalah teori-teori yang menjelaskan mengapa seseorang
atau kelompok orang dalam masyarakat melakukan kejahatan atau mengapa didalam
masyarakat terdapat orang-orang yang melakukan kejahatan dan terdpat pula
kelompok orang atau orang-orang tertentu
yang tidak melakukan kejahatan.
Teor ini menitikberatkan pada
pendekatan psikologi atau sosiologis atau biologis. Sebagai contoh, teori
kontrol dan social learning teory.
Bridging theories adalah
teori-teori yang tidak atau sulit untuk dikategorikan kedalam, baik macrotheories maupun microtheories. Teori-teori yang termasuk
kedalam kategori ini menjelaskan struktur sosial dan juga menjelaskan bagaimana
seseorang atau sekelompok orang menjadi penjahat. Sebagai contoh, teori
subkultur dari teori subkultural dari teori differential
opportunity.
Munculnya disiplin baru yang
menitikberatkan pada masalah kejahatan dan sistem peradilan pidana(crime and criminal justice system)
setelah tahun 1965 telah memberikan peluang yang besar bagi riset-riset
mengenai implementasi criminal justice
system terhadap perkembangan kejahatan di Amerika Serikat dan di beberapa
negara eropa. Di kalangan kriminologi sering dipertanyakan sejauh mana sistem
peradilan pidana menghasilkan apa yang dikemukakan oleh Lemmert dengan
secondary deviance dan sejauh manakah struktur masyarakat dengan berbagai
kondisi yang menyertainya merupakan pendukung dari terjadinya kejahatan dalam
masyarakat. Bahkan, kaum teoritis kriminologi sering menjadi lupa struktur
masyarakat pula hal sebaiknya: sejauh manakah kondisi struktur masyarakat yang
ada dapat merupakan penangkal terhadap terjadinya kejahatan.
E. Analisis
Teori Kriminologi tentang Kejahatan Kekerasan
Bagian mengenai analisis ini tidaklah bermaksud untuk
mengetengahkan suatu gambaran mengenai kejahatan kekerasan secar lengkap yang
merupakan hasil penelitian sosial, melainkan merupakan salah satu alternatif
analisis sementara dari kondisi beberapa kasus kejahatan kekerasan yang telah
terjadi di tanah air.
Salah
satu perspektif teori kriminologi yang dapat dipergunakan untuk menganalisis
model kejahatan dengan kekerasan di indonesia adalah teori yang dikembangkan
oleh Hoefnagels dalam bukunya “The Other
Side of Criminology” yang telah mengungkapkan bahwa para ahli kriminologi
pada umunya sering bertumpu pada teori kausa kejahatan dan pelakunya, namun
kurang memperhatikan sisi lain dari suatu kejahatan. Ia menunjukkan bahwa sisi
lain dimaksud adalah aspek stigma dan
seriousness.
Kedua
aspek tersebut yang dipandang sebagai “other than offenders” memiliki peran
yang tidak kurang pentingnya dalam penjelasan kejahatan. Dalam hal ini, menurut
penulis, untuk kejahatan dengan kekerasan, ia sangat relevan untuk
diketengahkan. Mengenai aspek “seriousness”
dari kejahatan dengan kekerasan dapat dikatakan bahwa model kejahatan ini
sangat dipengaruhi oleh pendapat masyarakat atau public opinion, sehingga aspek
ini menghasilkan hipotesis sebagai berikut :
- “seriousness increases, frequency of
occurrences diminishes” atau derajat keseriusan suatu kejahatan
meningkat jika frekuensi kejadian kejahatan menurun.
- “seriousness decreases, frequency of
occurrences invreases” atau derajat keseriusan suatu kejadian jika
frekuensi kejadiannya meningkat.
Aspek
kedua dalam kejahatan menurut Hoefnagels adalah aspek stigma. Untuk mengetahui
proses kelahiran stigmatisasi, Hoefnagels telah mengajukan suatu proposisi
tentang konsep kejahatan. Kejahatan
dipandang dari sudut undang-undang akan melahirkan apa yang disebut official disignation yang menetapkan
bahwa “a criminal is not some one who
sommits a punishable act.... but some one who commits an act designated as
punishable”. Di pihak lain, kejahatan dipandang dari sudut sosiologi, akan
melahirkan apa yang disebut unofficial
designation(kempe), yang menetapkan bahwa “crime is the experince of intolerability in the fellow members of
society....causes reaction to the perpecrator...” dari kedua model konsep
tentang kejahatan tersebut, Hoefnagels menegaskan kembali apa yang telah
diketengahkan oleh Jean Paul Sartre, “crime
is created by designation”.
Proses
stigmatisasi lahir dari kedua model designation
tersebut baik “official designation”
maupun “unofficial designation”.
Namun Hoefnagels menekankan bahwa proses stigmatisasi yang paling dominan
adalah yang dilahirkan dari “unofficial
designation”. Dengan demikian konsep stigmatisasi adalah “the process of
the individual identity. Disagreements between what meone is and t sohe
Judgement society on him”.
Menarik manfaat dari konsep kejahatan menurut Hoenagels sebagai
mana yang telah diuraikan diatas, khususnya dalam menghadapi kejahatan dengan
kekerasan, penulis menarik kesimpulan sbb:
- Bahwa perkembangan
kejahatan dengan kekerasan di
indonesia pada dewasa ini masih dalam tahap perkembangan awal, belum
merupakan suatu “epidemi kejahatan”. Bahkan, dilihat dari persentase
kejahatan lainnya, kejahatan kekerasan belum “melembaga” di kalangan
masyarakat kita.
- Bahwa kemungkinan terdapatnya aspek-aspek lain yang terkandung dalam kejahatan kekerasan yang terjadi di beberapa tempat di indonesia(selain aspek stigma dan seriousness),memerlukan pengamatan dan penelitian yang lebih mendalam. Dengan demikian dalam setiap kasus kejahatan kekerasan apapun yang merupakan motif pelaku(karena cemburu, harta atau ketidakadilan perlakuan) misalnya penilaian masyarakat atau komunitas tetap sangat dominan dibandingkan dengan penilaian perseorangan. Hal ini diperkuat dengan masih melembaganya adat-istiadat dan hukum adat setempat di tiap daerah di indonesia. Bertalian dengan aspek seriousness, kondisi sosio-struktural dan sosio-budaya masyarakat indonesia cenderung mendukung atau konsisten dengan gambaran hoefnagels tentang aspek tersebut.
0 Response to "Makalah Masalah kejahatan Kekerasan Suatu Perspektif Teoritis"
Post a Comment