PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejak merdeka tahun
1945, Indonesia sudah beberapa kali mengalami pergantian sistem pemerintahan.
Tahun 1945 sampai 1965 dikenal dengan nama sistem pemerintahan orde lama, yang
mana merupakan era presiden Soekarno. Setelah presiden Soekarno tumbang,
tampung kekuasaan diserahkan kepada jenderal Soeharto yang akhirnya melahirkan
sistem pemerintahan orde baru. Orde baru berlangsung dari tahun 1966 sampai
tahun 1998. Dikarenakan sudah terlalu lama menjabat dan merajalelanya KKN,
presiden Soeharto digulingkan oleh rakyat Indonesia yang akhirnya melahirkan
zaman baru bagi Indonesia, reformasi. Reformasi berlangsung dari tahun 1998
sampai sekarang.
Pers
merupakan media komunikasi antar pelaku pembangunan demokrasi dan sarana
penyampaian informasi dari pemerintah kepada masyarakat maupun dari masyarakat
kepada pemerintah secara dua arah. Komunikasi ini diharapkan menimbulkan
pengetahuan, pengertian, persamaan persepsi dan partisipasi masyarakat sehingga
demokrasi dapat terlaksana. Sebagai lembaga sosial pers adalah sebuah wadah
bagi proses input dalam sistem politik. Diantara tugasnya pers berkewajiban
membentuk kesamaan kepentingan antara masyarakat dan negara sehingga wajar
sekali apabila pers berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan kepentingan
pemerintah dan masyarakat. Untuk itu dibutuhkan keterbukaan pers untuk secara
baik dan benar dalam mengajukan kritik terhadap sasaran yang manapun sejauh hal
itu benar-benar berkaitan dengan proses input.
Ada
banyak peranan yang dilakukan oleh pers dalam suatu negara dan dalam mewujudkan
demokrasi. Namun, agar pers mampu menjalankan peranannya terutama dalam
menunjang demokratisasi maka perlu adanya kebebasan pers dalam menjalankan
tugas serta fungsinya secara professional. Media masa yang bebas memberikan
dasar bagi pembatasan kekuasaan negara dan dengan demikian adanya kendali atas
negara oleh rakyat, sehingga menjamin hadirnya lembaga-lembaga politik yang
demokratis sebagai sarana yang paling efekif untuk menjalankan pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat itu. Apabila negara mengendalikan
media massa maka terhambatnya cara untuk memberitakan penyalahgunaan wewenang
dan korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara.
Bagi
suatu pemerintahan diktator kebenaran merupakan bahaya baginya, sebab kebenaran
akan membuka seluruh jaringan manipulasinya. Berita-berita yang berasal dari
foto jurnalisme serta data dokumenter lainnya memang memiliki daya yang sangat
kuat. Misi pertama pers dalam suatu masyarakat yang demokrartis atau suatu
masyarakat yang sedang berjuang untuk menjadi demokratis adalah melaporkan
fakta. Misi ini tidak akan mudah dilaksanakan dalam suatu situasi ketidak
adilan secara besar-besaran dan pembagian yang terpolarisasi.
Terkucilnya
prospek kebebasan pers jelas merupakan bagian dari redupnya prospek
demokratisasi. Perkembangan dan pertumbuhan media massa atau pers di Indonesia
tidak dapat dipisahkan dari perkembangan dan pertumbuhan sistem politik
dinegara ini. Bahkan sistem pers di Indonesia merupakan sub sistem dari sistem
politik yang ada. Di negara dimana sistem persnya mengikuti sistem politik yang
ada maka pers cenderung bersikap dan bertindak sebagai “balancer” (penyeimbang)
antara kekuatan yang ada. Tindakan atau sikap ini bukan tanpa alasan mengingat
pers di negara berkembang seperi di Indonesia mempunyai banyak pengalaman
bagaimana mereka mencoba mempertahankan keberadaannya sebagai pers yang bebas
dan bertanggung jawab.
Banyak
pers yang khawatir bahwa keberadaannya akan terancam di saat mereka tidak
mengikuti sistem yang berlaku. Oleh karena itu guna mempertahankan
keberadaannya, pers tidak jarang memilih jalan tengah. Cara inilah yang sering
mendorong pers itu terpaksa harus bersikap mendua terhadap suatu masalah yang
berkaitan dengan kekuasaan. Dalam kaitan ini pulalah banyak pers di negara
berkembang yang pada umumnya termasuk di Indonesia lebih suka mengutamakan
konsep stabilitas politik nasional sebagai acuan untuk kelangsungan hidup pers
itu sendiri.
Diawal
kekuasaannya, rezim pemerintahan orde baru menghadapi Indonesia yang traumatis.
Suatu kondisi dimana kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya serta
psikologis rakyat yang baru tertimpa prahara. Politik satu kata yang tepat
ketika itu kemudian dijadikan formula orde baru, yakni pemulihan atau
normalisasi secepatnya harus dilakukan, jika tidak kondisi bangsa akan kian
berlarut-larut dalam ketidak pastian dan pembangunan nasional akan semakin
tertunda. Konsentrasi bangsa diarahkan untuk pembangunan nasional. Hampir seluruh
sektor dilibatkan serta seluruh segmen masyarakat dikerahkan demi mensukseskan
pembangunan nasional tersebut. Keterlibatan seluruh sektor maupun segmen
masyarakat tersebut agaknya sebanding dengan beban berat warisan Orde Lama yang
ditimpakan kepada Orde Baru. Pemerintah Orde Baru memprioritaskan trilogi
pembangunannya yakni stabilitas, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan sebagai
kata kunci yang saling berkait erat serta sebagai bagian doktrin negara.
Oleh
karena pemerintah menitik beratkan pembaruan pada pembangunan nasional, maka
sektor demokrasi akhirnya terlantarkan. Hal ini mungkin terpaksa dilakukan oleh
karena sepeninggalan orde lama tidak satupun kekuatan non negara yang bisa
dijadikan acuan dan preferensi, serta seluruh yang tersisa mengidap kerentanan
fungsi termasuk yang melanda pers nasional. Deskripsi-deskripsi yang sering
kali ditulis oleh para pemerhati pers menyatakan bahwa kehidupan pers
diawal-awal orde baru adalah sarat dengan muatan berbagai kepentingan,
ketiadaan pers yang bebas, kehidupan pers yang ditekan dari segala penjuru
untuk dikuasai negara, wartawan bisa dibeli serta pers yang bisa dibredel
sewaktu-waktu.
Tidak ada yang
menyangkal bahwa setiap periode pemerintahan memiliki ciri khasnya masing
masing. Orde baru dikenal dengan keotoriteran rezim presiden Soeharto
sedangakan masa reformasi dianggap sebagai masa berjayanya demokrasi. Kedua
masa tersebut, orde baru dan reformasi merupakan dua masa pemerintahan yang
cukup berbeda. Masa orde baru merupakan masa dimana segala sesuatunya harus
sesuai dengan kehendak pengusa, bukan kehendak rakyat. Rakyat dipaksa untuk
bungkam dan mengikuti aturan yang telah ditetapkan pemerintah tanpa dapat
melakukan kritik untuk kebijakan yang lebih baik. Pada masa orde baru Indonesia
memang mengalami pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, namun tidak merata.
Hutang Indonesia tak terhitung banyaknya. Ditambah maraknya korupsi di tubuh
pemerintahan. Siapapun yang menentang pemerintah, nyawanya akan terancam.
Sanksi kriminal dilaksanakan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk
mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan
digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat “dibuang” ke Pulau Buru. Tidak
ada yang mampu meruntuhkan kebobrokan sistem tersebut sampai akhirnya rakyat
benar – benar telah kehilangan kesabaran pada tahun 1998.
Sedangkan masa reformasi
sering digaung – gaungkan sebagai masa demokrasi. Yang artinya kebebasan hampir
disegala aspek kehidupan, termasuk dalam hal kepolitikan. Pada masa orde baru,
pemenang pemilu sudah bisa dipastikan, namun pada masa reformasi benar benar
merupakan persaingan terbuka. Dalam hal pengambilan kebijakan, rakyat dapat
menyalurkan aspirasinya secara bebas melalui wakil wakil rakyat maupun media.
Walaupun pada kenyataannya saat ini aspirasi rakyat cenderung tidak didengar,
setidaknya tidak ada yang membungkam rakyat seperti pada masa orde baru.
Berdasarkan uraian
diatas, sudah dapat dipastikan nasib jurnalisme Indonesia pada masa orde baru
dan reformasi itu berbeda. Nasib pers sangat bergantung dari kebijakan
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perbandingan kebebasan pers
pada masa orde baru ?
2. Bagaimana perbandingan kebebasan pers
pada masa reformasi ?
PEMBAHASAN
1.
Pers masa orde baru
Tidak bisa dipungkiri
bahwa pers memiliki peran yang sangat penting di suatu negara. Tanpa pers,
tidak ada informasi yang bisa tersalurkan baik dari rakyat ke pemerintahnya
maupun sebaliknya. Singkat kata, pers memiliki posisi tawar yang tidak bisa
diremehkan. Konsepsi Riswandha (1998 : 101) mengatakan bahwa ada empat pilar
pemelihara persatuan bangsa, salah satunya adalah kaum intelektual atau pers.
Pers berfungsi sebagai pemikir dan penguji konsep-konsep yang diterapkan pada
setiap kebijakan.
Pada masa orde baru, pers
bisa dikatakan tidak ada fungsinya untuk warga negara. Pers sangat terlihat
hanya sebagai boneka penguasa. Tidak ada kebebasan berpendapat yang dijanjikan
pemerintah pada awal awal kekuasaan orde baru. Keberadaan pers diawasi secara
ketat oleh pemerintah di bawah naungan departemen penerangan. Hal ini dilakukan
untuk mengantisipasi hal – hal buruk di dalam pemerintahan orde baru sampai di
telinga masyarakat. Pers tidak bisa melakukan apapun selain patuh pada aturan
yang ditetapkan oleh pemerintah. Aspirasi masyarakat untuk pemerintah tidak
tersalurkan sama sekali. Hal ini dikarenakan komunikasi politik yang terjadi
hanya top – down. Artinya pers hanya sebagai komunikator dari pemerintah ke
rakyat. Pers tidak dapat melakukan fungsinya sebagai komunikator dari rakyat ke
pemerintah. Selain itu, pemberitaan yang disalurkan ke masyarakat mengenai
pemerintah harus merupakan berita – berita yang menjunjung tinggi keberhasilan
pemerintah. Yang diberitakan hanyalah sesuatu yang baik. Apabila suatu media
nekat menerbitkan pemberitaan – pemberitaan miring soal pemerintah, bisa di
pastikan nasib media tersebut berada di ujung tanduk.
Berdasarkan teori
politik yang dipaparkan diatas, jelas bahwa pers pada masa orde baru sangat
dikendalikan oleh pemerintah. Kontrol pemerintah terhadap pers tidak dapat
diragukan lagi, begitu juga dengan pegaruhnya. Kebijakan – kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah orde baru sangat tidak mendukung keberadaan pers. Salah
satu contohnya adalah kebijakan SIUPP, yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers,
yang mana sangat tidak pro-pers. Pers mengalami kesulitan saat dituntut untuk
melasanakan fungsi – fungsi yang secara alamiah melekat padanya, khususnya
fungsi mereka bagi masyarakat. Fungsi pers bagi masyarakat adalah menampilkan
informasi yang berdimensi politik lebih banyak dibandingkan dengan ekonomi,
dengan didominasi subyek negara serta kecenderungan pers untuk lebih berat ke
sisi negara harus dilakukan dengan cara lebih memilih realitas psikologis
dibanding dengan realitas sosiologis. Tidak hanya itu, 9 elemen dasar Bill
Kovach mengenai jurnalisme yang seharusnya diamalkan oleh pers tidak
terlaksana. 9 elemen dasar tersebut adalah :
- Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian
kebenaran
- Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga
negara
- Esensi utama jurnalisme adalah disiplin
verifikasi
- Jurnalis harus menjaga indepedensi dari objek
liputannya
- Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau
independen dari kekuasaan
- Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk
saling kritik dan menemukan kompromi
- Jurnalis harus berusaha membuat hal penting
menjadi menarik dan relevan
- Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif
dan proporsional
- Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati
nurani personelnya
Jika sudah begitu, bisa
dikatakan pers telah kehilangan jati dirinya. Contoh kediktatoran pemerintah
terhadap pers adalah peristiwa 21 Juni 1994. Saat itu beberapa media massa
seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin penerbitannya atau dengan
kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi tentang
berbagai penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat Negara. Akan tetapi,
meskipun pemerintah telah membungkam media sedemikian rupa, tetapi saja ada
media yang pantang menyerah melakukan perlawanan pada pemerintah. Salah satunya
adalah Tempo. Pemerintah orde baru selalu merasa terancam dengan keberadaan
Tempo. Hal tersebut wajar karena sikap pantang menyerah yang ditanamkan media
tersebut kepada wartawan – wartawannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa Tempo
menjadi media terpenting pada masa orde baru.
Sesungguhnya pada masa
orde baru terdapat lembaga yang menaungi pers di Indonesia, yaitu Dewan Pers.
Sesuai UU Pers Nomor 40 tahun 1999, dewan pers adalah lembaga independen yang
dibentuk sebagai bagian dari upaya untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan
meningkatkan kehidupan pers nasional. Berdasarkan amanat UU, dewan pers meiliki
7 fungsi :
- Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan
pihak lain, bisa pemerintah dan juga masyarakat
- Melakukan pengkajian untuk pengembangan keidupan
pers
- Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik
jurnalistik
- Memberikan pertimbangan dan pengupayaan
penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus yang berhubungan dengan
pemberitaan pers
- Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat,
dan pemerintah.
- Memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun
peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan
- Mendata persahaan pers
Namun sangat disayangkan
bahwa dewan pers masa orde baru tidak melaksanakan fungsinya dengan efektif.
Ironisnya, dewan pers justru tidak melindungi rekan sesama jurnalis. Hal
tersebut terlihat saat peristiwa pembredelan media tahun 1994. Banyak anggota
dewan pers yang tidak meyetujui pemberedelan tersebut, namun dewan pers dipaksa
menyetujui langkah pemerintah tersebut. Tidak ada yang bisa dilakukan dewan
pers selain mematuhi instruksi pemerintah. Menolak sama artinya dengan melawan
pemerintah. Bisa disimpulkan keberadaan dewan pers masa orde baru hanya sebatas
formalitas.
2. Pers
masa reformasi
Bagaimana dengan kebebasan
pers pada masa reformasi? Tidak bisa dipungkiri bahwa pers pada masa orde baru
sangat berbeda dengan pers pada masa reformasi. Tidak ada kebebasan pers pada
masa orde baru. Namun, saat orde baru tumbang, pers seperti kehilangan kendali.
Arus kebebasan dibuka lebar – lebar secara spontan. Gelombang kebebasan pers
tercipta secara besar besaran, bukan perlahan dengan proses yang seharusnya.
Suatu kebijakan yang
monumental karena dianggap sebagai tonggak dimulainya kebebesan pers di
Indonesia yakni dikeluarkannya Permenpen No. 01/per/Menpen/1998, tentang
Kententuan – Ketentuan SIUPP. Pada Permenpen ini, sanksi pencabutan SIUPP
maupun pembreidelan bagi pers ditiadakan. Ada lima peraturan, baik berupa
Peraturan Menteri maupun Surat Keputusan Menteri, yang keseluruhannya
menghambat ruang gerak pers, dicabut. Puncaknya adalah dikeluarkannya Undang-
Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Terdapat pasal di dalam undang-undang
ini yang menyatakan pencabutan semua undang- undang pers yang ada sebelumnya.
Sejak saat itu, tidak ada lagi kebijakan pemerintah yang memberatkan pers.
Akibatnya, permintaan untuk izin penerbitan meningkat.
Pers masa reformasi
selalu dihubungkan dengan demokrasi. Yang mana demokrasi berarti kebebasan
untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat. Salah satu indikator demokrasi
adalah terciptanya jurnalisme yang independen. Walaupun pada kenyataannya saat
ini, terkadang pers masih dimanfaatkan oleh pemerintah untuk melanggengkan
kekuasaan. Pers masa reformasi bebas menuliskan apapun kritik mereka terhadap
pemerintah. Tidak ada pembungkaman, apalagi pembredelan. Jika pemerintah
tersinggung dengan apa yang disampaikan oleh pers, jalan untuk melawannya bukan
dengan memberedel pers, tetapi dengan memanfaatkan pers itu sendiri sebagai
alat komunikasi yang efektif antara masyarakat dan pemerintah. Dengan kata
lain, pers masa reformasi menempatkan dirinya sebagai perantara rakyat dan
pemerintah supaya tidak terjadi perbedaan persepsi.
Pers masa reformasi
sedikit banyak telah menemukan jati dirinya. Pers menjadi lemabga yang
independen. Pada masa reformasi, komunikasi politik yang terjadsi antara
masyarakat dan pemerintah tidak hanya komunikasi top – down, melainkan juga
bottom – up. Pers menjadi sarana masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya, baik
berupa tuntutan maupun dukungan. Pers juga menjadi sarana pemerintah
mensosialisasikan kebijakan – kebijakan yang telah diambilnya. Pers menjadi
wadah pemerintah untuk mengetahui apakah kebijakan – kebijakan yang akan
diambil disetujui rakyat atau tidak. Apabila suatu kebijakan telah diambil dan
dilaksanakan, pers dapat mengambil perannya sebagai pengontrol kebijakan.
Intinya, pers masa reformasi senantiasa melaksanakan fungsinya pada setiap
proses sistem politik. Pada masa ini, 9 elemen dasar serta fungsi – fungsi pers
cukup terlaksana.
Namun, kebebasan pers
yang tercipta pada masa reformasi bukan berarti tidak menimbulkan masalah
apapun. Kebebasan pers masa reformasi terkadang terlewat batas. Terdapat
ketidakseimbangan antara keinginan masyarakat dengan kepentingan pers. Pers
cenderung menampilkan sesuatu yang berbau komersil dan hanya memikirkan
keuntungan perusahaan. Berita yang disajikan terkadang tidak objektif. Tidak
hanya itu, pers juga terkadang melanggar kode etik nya sendiri. Norma dan nilai
yang ada di masyarakat diabaikan. Dalam pencarian berita pun pers sering
meniadakan kesopan santunan. Pers tidak lagi menghargai privatisasi sumber
berita. Sebagai contoh, pers seharusnya fokus hanya pada masalah – masalah yang
berhubungan dengan kepentingan masyarakat, seperti kebijakan pemerintah, akan
tetapi pers menambahkannya dengan urusan pribadi sumber berita. Hal itu sangat
melanggar norma.
Kekhawatiran masyarakat
terhadap kebebasan pers, sempat muncul dalam aksi perlawanan dalam bentuk
kekerasan fisik. Hal ini antara lain ditandai dengan penyerangan harian Jawa
Pos di Surabaya oleh Banser pendukung Abdurrahman Wahid (alam Emilianus, 2005:
128).
Intinya, pers menjadi
lupa bahwa kebebasan pun masih harus ada batasnya. Di masa reformasi pers lebih
menampilkan diri sebagai pihak yang dekat dengan kekuasaan dan modal. Dan hal
ini harus diantisipasi oleh masyarakat sebagai pengawas atas perilaku pers di
Indonesia.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan
yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan bahwa kebebasan pers pada masa orde
baru sangat berbeda dengan kebebasan pers pada masa reformasi. Pada masa orde
baru pergerakan pers sangat dibatasi dan hanya sebagai boneka pemerintah untuk
melanggengkan kepentingannya. Sedangakan pada masa reformasi, kebebasan pers
sangat terjamin. Ruang gerak pers menjadi sangat luas. Pers dapat melakukan
fungsi top – down dan bottom – up, walaupun terkadang masih dimanfaatkan
sebagai alat penguasa serta pemilik modal. Kebebasan pers masa reformasi juga
bukan berarti tanpa masalah, banyak masalah yang timbul akibat dari kebebasan
pers itu sendiri.
Daftar Pustaka
Afandi, Emilianus. 2005. Menggugat Negara;
Rasionalitas Demokrasi, HAM, dan Kebebasan. Jakarta: PBHI.Akhmadi, Heri (ed.). 1997. Ilusi Sebuah Kekuasaan. Jakarta: ISAI.
Bulkin, Farchan (Peng). 1988. Analisa Kekuatan Politik di Indonesia; Pilihan Artikel Prisma. Jakarta: LP3ES.
Imawan, Riswandha. 1998. Membedah Politik Orde Baru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ismail, Taufik. 2009. Pers Bebas, Konflik Sosial, Pendidikan Politik. Bandung : budimanshartoyo.wordpress.com.
Muis, A. 2000. Titian Jalan Demokrasi; Peranan Kebebasan Pers untuk Budaya Komunikasi Politik. Jakarta: Penerbit Harian Kompas.
Memey. 2009. Peranan Pers di Era Orde Baru dan Reformasi. Bandung : mumu0089.blogspot.com.
Pamungkas, Sri-Bintang. 2003. Setelah hari “H”. Jakarta: Pustaka Utan Kayu.
Simanjutak, Togi (ed.). 1998. Wartawan Terpasung; Intervensi Negara di Tubuh PWI. Jakarta: ISAI.
Putra, A. Firdaus. 2009. Pers Pada Era Orde Baru dan Reformasi. Bandung : eljudge.co.cc.
Mau DOWNLOAD filenya Klik Disini
0 Response to "Makalah Perbandingan Kebebasan Pers Masa Orde Baru Dan Masa Reformasi Di Indonesia"
Post a Comment