BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Di indonesia,
istilah negara hukum sudah sangat populer. Pada umumnya istilah tersebut
dianggap sebagai terjemahan yang tepat dari dua istilah yaitu rechtstaat dan the role of law. Konsep tersebut selalu
dikaitkan dengan konsep perlindungan hukum, sebab ia tidak lepas dari soal-soal
perlindungan hak-hak asasi manusia. Tetapi, antara rechtstaat dan the role of
law itu masing-masing sebenarnya mempunyai latar belakang dan pelembagaan yang
berbeda meskipun keduanya pada intinya sama-sama menginginkan perlindungan bagi
HAM melalui pelembagaan peradilan yang bebas dan tidak memihak. Istilah
rechtstaat banyak dianut di negara-negara Eropa kontinental yang bertumpu pada
sistem civil law, sedangkan the role of law banyak dikembangkan di
negara-negara dengan tradisi anglosakson yang bertumpu pada sistem common law.
Kedua sistem yang masing-masing menjadi tumpuan kedua konsep tersebut mempunyai
perbedaan titik berat dalam pengoprasiannya. Civil law menitikberatkan
administrasi sedangkan common law menitikberatkan judicial. Sementara itu,
rechtstaat dan the role of law dengan tumpuannya masing-masing mengutamakan
segi yang berbeda. Konsep rechtstaat mengutamakan prinsip wetmatigheid yang
kemudian disamakan dengan rechtmatigheid, sedangkan the role of law
mengutamakan equality before the law. Dengan adanya perbedaan titik berat dalam
pengoprasiannya maka kedua konsep tersebut juga merincikan ciri-ciri yang
berbeda.
Negara
indonesia merupakan negara yang merdeka pada tanggal 17 agustus 1945. Dengan
perjuangan yang mengorbankan segala-galanya demi kemerdekaan tersebut. Setelah
merdeka maka dibuatkanya sebuah konstitusi sebagai dasar negara, yang dijadikan pedoman bagi setiap elemen(negara) untuk mewujudkannya. Tetapi perjuangan bangsa yang hampir 67 tahun
ini setelah merdeka, ternyata belum bisa memuaskan publik. Faktanya, tahun 1999-2002 adanya amandemen perubahan untuk
mengubah konstitusi negara indonesia, dikarenakan sudah tidak sesuai dengan zamanya serta banyak kesewenangan –
sewenangan yang terjadi pada masa sebelumnya .maka dari itu, di zaman reformasi
menginginkan adanya amandemen UUD NRI 1945. Perubahan yang paling menonjol
adalah mengenai pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa :
“Indonesia
ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat)”.
Dengan
lahirnya negara hukum yang diamanatkan konstitusi ini, indonesia sebagai negara
tidak sewenang-wenang dalam menjalankan kekuasaannya. Dan melahirkan
perkembangan baru bagi penguasa berkewajiban dalam mewujudkan tujuan negara
yang termaktub dalam pembukaan alinea IV UUD NRI 1945.
Maka
dari itu, pemakalah ingin mengetahui lebih jelas mengenai sejarah perkembangan
negara hukum yang seutuhnnya dan bagaimana pelaksanaanya di negara indonesia
ini.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah sejarah negara hukum?
2. Bagaimanakah perkembangan negara hukum di
indonesia?
3. Konsep negara hukum yang dinamis atau
konsep negara hukum materiil?
4. Bagaimana perkembangan negara hukum di
indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Negara Hukum
ARISTOTELES, merumuskan
Negara hukum adalah Negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan
kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan
hidup untuk warga Negara dan sebagai daripada keadilan itu perlu diajarkan rasa
susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warganegara yang baik. Peraturan
yang sebenarnya menurut Aristoteles ialah peraturan yang mencerminkan keadilan
bagi pergaulan antar warga negaranya .maka menurutnya yang memerintah Negara
bukanlah manusia melainkan “pikiran yang adil”. Penguasa hanyalah pemegang
hukum dan keseimbangan saja.
Ditinjau dari sudut
sejarah, pengertian Negara hukum berbeda-beda diantaranya :
· Negara
Hukum Eropa Kontinental
Negara Hukum Eropa
Kontinental ini dipelopori oleh Immanuel Kant. Tujuan Negara hukum menurut Kant
adalah menjamin kedudukan hukum dari individu-individu dalam masyarakat. Konsep
Negara hukum ini dikenal dengan yaitu ;
a). Negara hukum
liberal, karena Kant dipegaruhi oleh faham liberal yang menentang kekuasaan
absolute raja pada waktu itu.
b). Negara hukum dalam
arti sempit, karena pemerintah hanya bertugas dan mempertahankan hukum dengan
maksud menjamin serta melinungi kaum “Boujuis” (tuan tanah) artinya hanya
ditujukan pada kelompok tertentu saja.
c). Nechtwakerstaat (
Negara penjaga malam ), karena Negara hanya berfungsi menjamin dan menjaga
keamanan dalam arti sempit( kaum Borjuis).
Di indonesia, istilah negara hukum sudah sangat
populer. Pada umumnya istilah tersebut dianggap sebagai terjemahan yang tepat
dari dua istilah yaitu rechtstaat dan the
role of law. Konsep tersebut selalu dikaitkan dengan konsep perlindungan
hukum, sebab ia tidak lepas dari soal-soal perlindungan hak-hak asasi manusia.
Tetapi, antara rechtstaat dan the role of law itu masing-masing sebenarnya mempunyai
latar belakang dan pelembagaan yang berbeda meskipun keduanya pada intinya
sama-sama menginginkan perlindungan bagi HAM melalui pelembagaan peradilan yang
bebas dan tidak memihak. Istilah rechtstaat banyak dianut di negara-negara
Eropa kontinental yang bertumpu pada sistem civil law, sedangkan the role of
law banyak dikembangkan di negara-negara dengan tradisi anglosakson yang
bertumpu pada sistem common law. Kedua sistem yang masing-masing menjadi
tumpuan kedua konsep tersebut mempunyai perbedaan titik berat dalam
pengoprasiannya. Civil law menitikberatkan administrasi sedangkan common law
menitikberatkan judicial. Sementara itu, rechtstaat dan the role of law dengan
tumpuannya masing-masing mengutamakan segi yang berbeda. Konsep rechtstaat
mengutamakan prinsip wetmatigheid yang kemudian disamakan dengan
rechtmatigheid, sedangkan the role of law mengutamakan equality before the law.
Dengan adanya perbedaan titik berat dalam pengoprasiannya maka kedua konsep
tersebut juga merincikan ciri-ciri yang berbeda.
Dari ciri-ciri itu dapat dilihat pada persamaan dan
perbedaan antara keduanya. Kedua konsep tersebut sama-sama berintikan upaya
memberikan perlindungan bagi HAM yang untuk itu harus diadakan pemisahan atau
pembagian kekuasaan di dalam negara karena dengan itu pelanggaran atas HAM
dapat dicegah atau diminimalkan melalui mekanisme saling mengawasi antar
poros-poros kekuasaan. Tetapi, dalam pelembagaan dunia pradilannya keduanya
menawarkan lingkungan yang berbeda. Pada konsep rechtstaat terdapat lembaga peradilan
administrasi yang merupakan lingkungan peradilan yang berdiri sendiri,
sedangkan pada konsep the role of law tidak terdapat peradilan administrasi
sebagi lingkungan yang berdiri sendiri. Sebab, didalam konsep the role of law
semua orang dianggap sama kedudukannya di depan hukum sehingga bagi warga
negara maupun bagi pemerintah harus disediakan peradilan yang sama.
Dalam hal ini tercatat bahwa dilihat dari lingkup
tugas-tugas pemerintah, pada abad ke-20 telah muncul pula istilah welfare state
sebagai reaksi terhadap ekses yang timbul dari konsep negara hukum itu. Seperti
diketahui, lahirnya konsep negara hukum (rechtstaat) yang begitu revolusioner
menentang absolutisme telah melahirkan pemisahan kekuasaan yang meletakkan
pemerintah pada posisi dibawah parlemen. Baik rechtstaat maupun the role of law
yang merupakan produk abad ke-19 dan yang menitikberatkan individualisme, telah
menjadikan pemerintahn sebagai “penjaga malam” yang lingkup tugasnya sangat
sempit terbatas pada tugas melaksanakan keputusan-keputusan parlemen yang
dituangkan dalam UU. Di dalam konsep negara hukum abad ke-19 itu, pemerintah
dituntut untuk pasif dalam arti hanya menjadi wasit atau pelaksana dari bebagai
keinginan rakyat yang dituangkan di dalam UU oleh parlemen. Kekuasaan pemerintah
dibatasi secara ketat agar tidak terjerumus pada pola absolutissme seperti
sebelum lahirnya konsep negara hukum. Pemabatan itu dituangkan didalam
konstitusi sehingga paham negara hukum berkait erat dengan konstitusionalisme
yang, menurut carl J. Friedrich, merupakan gagasan bahwa pemerintah merupakan
suatu kumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang
tunduk kepada beberapa pembatasan yang memberi jaminan bahwa kekuasaan tidak
dapat disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah. Konsep
negara hukum yang demikian dikenal sebgai konsep negara formal. Menjelang
pertengahan abad ke-20, tepatnya setelah Perang Dunia I konsep negara hukum
formal mulai mendapat gugatan karena ternyata ia telah menimbulkan kesenjangan
sosial ,dan ekonomi ditengah-tengah
masyarakat . Individualisme liberal yang mendasari konsep tersebut telah
menyebabkan dominannya para pemilik modal dalam lembaga perwakilan rakyat
(parlemen) yang dengan kekayaannya mereka
dapat merekayasa Pemilu untuk mengisi parlemen sehingga wakil-wakil yang
terpilih adalah dari kalangan mereka .
Parlemen yang didominasi oleh kaum pemilik modal ini kemudian membuat produk
hukum yang menguntungkan kaum kapitalis sehingga eksploitasi dari kaum kaya
terhadap kaum tak punya mendapat landasan hukum.
Menghadapi keadaan yang seperti itu, pemerintah
tidak dapat berbuat apa-apa ,karena menurut prinsip negara hukum (formal) pemerintah hanya bertugas sebagai pelaksanan
UU tanpa boleh turut campur terhadap apa yang dilakukan oleh masyarakat sejauh
tidak bertentangan dengan UU. Keadaan seperti inilah yang kemudian menimbulkan ketidakpuasan ,dan munculkan
gagasan negara hukum materiil (walfare
state) .Gagasan ini didorong oleh beberapa faktor ,seperti terjadinya
ekses-ekses dalam industrialisasi,dan sistem kapitalis ,tersebarnya paham
sosialisme yang menginginkan pembagian kekayaan secara merata ,serta kemenangan
beberapa partai sosialis di Eropa. Gagasan negara hukum formal bahwa pemerintah
dilarang turut campur dalam kegiatan
masyarakat bergeser kearah paham baru bahwa pemerintah justru harus bertanggung
jawab atas kesejahteraan masyarakat yang untuk itu pemerintah harus turut
campur dalam kegiatan masyarakat ,dan tidak boleh bersifat pasif.
Demokrasi,menurut paham baru ini ,harus diperluas cakupannya sampai menjangkau
masalah sosial ,dan ekonomi sehingga tidak membatasi diri dalam perlindungan hak
sipil dan politik semata. Dalam bidang ekonomi harus ada sistem yang dapat
menguasai kekuatan-kekuatan ekonomi ,dan mampu memperkecil perbedaan sosial dan
ekonomi ,terutama untuk mengatasi ketidak merataan distribusi kekayaan
dikalangan rakyat. Untuk itu, pemerintah
diberi kewenangan yang luas dengan “freies
ermessen” ,yakni kewenangan untuk turut campur dalam berbagai kegiatan
masyarakat dengan cara –cara pengaturan,penetapan,dan materiale daad. Perumusan ciri negara hukum dari konsep
rechtsstaat maupun the rule of law sebagaimana dikemukakan oleh
FJ Stahl ,dan AV Dicey kemudian diintergasikan pada perincian baru yang lebih
memungkinkan pemerintah bersikap aktif dalam tugas-tugasnya. Perumusan kembali
ciri-ciri tersebut ,antara lain ,dihasilkan oleh International Commission of Jurists yang pada konferensinya di Bangkok pada tahun 1965 ,mencirikan konsep
negara hukum yang dinamis atau konsep negara hukum materiil sebagai berikut.
1.
Perlindungan konstitusional ,artinya
selain menjamin hak-hak individu ,konstitusi harus pula menentukan cara
prosedural untuk memperoleh perlindungan atau hak-hak dijamin.
2.
Adanya badan kehakiman yang bebas dan
tidak memihak .
3.
Adanya pemilihan umum yang bebas.
4.
Adanya kebebasan menyatakan pendapat .
5.
Adanya kebebasan berserikat
/berorganisasi dan beroposisi.
6.
Adanya pendidikan kewarganegaraan.
Dalam hal
ini,selain dilihat dari lingkup tugas pemerintah, perbedaan negara hukum dalam
arti formal ,dan dalam arti materiil dapat juga dilihat dari segi materi
hukumnya. Negara hukum dalam arti formal didasarkan pada paham legisme yang
berpandangan bahwa negara hukum itu sama dengan UU sehingga tindakan penegakan
hukum berarti menegakkan UU atau apa yang telah ditetapkan oleh badan
legislatif ,sedangkan negara hukum dalam arti materiil melihat bahwa hukum itu
bukan hanya yang secara formal
ditetapkan oleh lembaga legislatif ,tetapi yang nilai keadilannya dijadikan hak
penting . Seperti yang berlaku di Inggris,misalnya: bisa UU dikesampingkan
bilamana ia bertentangan dengan rasa keadilan.Oleh karena itu ,penegakan hukum
itu berarti penegakan keadilan,dan kebenaran (Moh. Mahfud MD : 178 :181).
B. Unsur-unsur Negara Hukum
Gagasan tentang negara
hukum yang telah dikembangkan oleh para ahli baik oleh Plato, Aristoteles, John
Lock, Montesquieu dan lainnya, masih bersifat samar-samar dan tenggelam dalam
waktu yang sangat panjang, kemudian muncul kembali secara lebih eksplisit pada
abad XIX, yaitu dengan munculnya konsep rechsstaat yang dikembangkan oleh
Frederich Julius Stahl di Eropa Continental yang diilhami oleh pemikiran
Immanuel Kant.
Pada masa abad
pertengahan pemikiran tentang negara hukum lahir sebagai perjuangan melawan
kekuasaan absolut para raja. Menurut Paul Scholten dalam bukunya Verzamel
Geschriften, deel I, (1949: 383), dalam pembicaraan Over den Rechtsstaat,
istilah negara hukum itu berasal dari abad XIX, tetapi gagasan tentang negara
hukum itu tumbuh di Eropa sudah hidup dalam abad XVII. Gagasan itu tumbuh di
Inggris dan merupakan latar belakang dari Glorious Revolution 1688 M. Gagasan
itu timbul sebagai reaksi terhadap kerajaan yang absolut, dan dirumuskan dalam
piagam yang terkenal sebagai Bill of Right 1689 (Great Britain), yang berisi
hak dan kebebasan kawula negara serta peraturan penganti raja di Inggris. (O.
Notohamidjojo, 1970: 21)
Paham rechtstaats pada
dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental. Ide tentang rechtstaats
mulai populer pada abad ke XVII sebagai akibat dari situasi sosial politik
Eropa didominasi oleh absolutisme raja, (Padmo Wahjono, 1989: 30; Philipus M.
Hadjon, 1972). Paham rechtstaats dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat
Kontinental seperti Immanuel Kant (1724-1804) dan Friedrich Julius Stahl,
(Miriam Budiardjo, 1998: 57). Sedangkan paham the rule of law mulai dikenal
setelah Albert Venn Dicey pada tahun 1885 menerbitkan bukunya Introduction to
Study of The Law of The Constitution. Paham the rule of law bertumpu pada sistem
hukum Anglo Saxon atau Common law system, (Philipus M. Hadjon, 1972: 72).
Konsepsi negara hukum menurut Immanuel Kant dalam bukunya Methaphysiche
Ansfangsgrunde der Rechtslehre, mengemukakan mengenai konsep negara hukum
liberal. Immanuel Kant mengemukakan paham negara hukum dalam arti sempit, yang
menempatkan fungsi recht pada staat, hanya sebagai alat perlindungan hak-hak
individual dan kekuasaan negara diartikan secara pasif, yang bertugas sebagai
pemelihara ketertiban dan keamanan masyarakat. Paham Immanuel Kant ini terkenal
dengan sebutan nachtwachkerstaats atau nachtwachterstaats. (M. Tahir Azhary,
1992: 73-74).
Friedrich Julius Stahl
dalam karyanya Staat and Rechtslehre II, (1878: 37), mengkalimatkan pengertian
negara hukum, sebagai berikut: “Negara harus menjadi negara hukum, itulah
semboyan dan sebenarnya juga daya pendorong perkembangan pada zaman baru.
Negara harus menentukan secermat-cermatnya jalan-jalan dan batas-batas
kegiatannya, bagaimana lingkungan (suasana) kebebasan itu tanpa dapat ditembus.
Negara harus mewujudkan atau memaksakan gagasan akhlaq dari segi negara, juga
secara langsung, tidak lebih jauh dari seharusnya menurut suasana hukum. Inilah
pengertian negara hukum, bukannya misalnya, bahwa negara itu hanya
mempertahankan tata hukum saja tanpa tujuan pemerintahan, atau hanya melindungi
hak-hak dari perseorangan. Negara hukum pada umumnya tidak berarti tujuan dan
isi daripada negara, melainkan hanya cara dan untuk mewujudkannya.” (O.
Notohamidjojo, 1970: 24)
Lebih lanjut Friedrich Julius Stahl mengemukakan
empat unsur rechtstaats dalam arti klasik, yaitu: (Miriam Budiardjo, 1998:
57-58)
1) Perlindungan hak-hak asasi manusia;
2) Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin
hak-hak itu (di negara-negara Eropa Kontinental biasanya disebut trias
politica);
3) Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan
(wetmatigheid van bestuur);
4) Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Pada saat yang hampir bersamaan muncul pula konsep
negara hukum (rule of law) yang dikembangkan oleh Albert Venn Dicey, yang lahir
dalam naungan sistem hukum Anglo-Saxon. Dicey mengemukakan unsur-unsur rule of
law sebagai berikut.
1. Supremasi
aturan-aturan hukum (supremacy of the law), yaitu tidak adanya kekuasaan
sewenang-wenang (absence of arbitrary power);
2. Kedudukan
yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku
baik untuk orang biasa maupun orang pejabat.
3. Terjaminnya
hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh Undang-Undang Dasar)
serta keputusan-keputusan pengadilan.
C. Perkembangan Negara Hukum Di Indonesia
Di dalam negara hukum,
setiap aspek tindakan pemerintahan baik dalam lapangan pengaturan maupun dalam
lapangan pelayanan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau
berdasarkan pada legalitas. Artinya pemerintah tidak dapat melakukan tindakan
pemerintahan tanpa dasar kewenangan.
Unsur-unsur yang
berlaku umum bagi setiap negara hukum, yakni sebagai berikut :
1) Adanya suatu sistem pemerintahan negara
yang didasarkan atas kedaulatan rakyat.
2) Bahwa pemerintah dalam melaksanakan
tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan
perundang-undangan.
3) Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi
manusia (warga negara).
4) Adanya pembagian kekuasaan dalam negara.
5) Adanya pengawasan dari badan-badan
peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga
peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pengaruh
eksekutif.
6) Adanya peran yang nyata dari
anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi
perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah.
7) Adanya sistem perekonomian yang dapat
menjamin pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran
warga negara.
Unsur-unsur negara
hukum ini biasanya terdapat dalam konstitusi. Oleh karena itu, keberadaan
konstitusi dalam suatu negara hukum merupakan kemestian. Menurut Sri Soemantri,
tidak ada satu negara pun di dunia ini yang tidak mempunyai konstitusi atau
undang-undang dasar. Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak
dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Apabila kita meneliti
UUD 1945 (sebelum amademen) di indonesia , kita akan menemukan unsur-unsur
negara hukum tersebut di dalamnya, yaitu sebagai berikut; pertama, prinsip
kedaulatan rakyat (pasal 1 ayat 2), kedua, pemerintahan berdasarkan konstitusi
(penjelasan UUD 1945), ketiga, jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (pasal
27, 28, 29, 31), keempat, pembagian kekuasaan (pasal 2, 4, 16, 19), kelima,
pengawasan peradilan (pasal 24), keenam, partisipasi warga negara (pasal 28),
ketujuh, sistem perekonomian (pasal 33).
Eksistensi Indonesia
sebagai negara hukum secara tegas disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945 (setelah
amandemen) yaitu pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa :
“Indonesia ialah negara yang berdasar atas
hukum (rechtsstaat)”.
Indikasi bahwa Indonesia menganut konsepsi
welfare state terdapat pada kewajiban pemerintah untuk mewujudkan tujuan-tujuan
negara, sebagaimana yang termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945,
yaitu;
“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia”.
Tujuan-tujuan ini
diupayakan perwujudannya melalui pembangunan yang dilakukan secara bertahap dan
berkesinambungan dalam program jangka pendek, menengah, dan panjang.
BAB
III
PENUTUP
a). Kesimpulan
Negara hukum adalah
Negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya.
Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga Negara
dan sebagai daripada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap
manusia agar ia menjadi warganegara yang baik.
Di indonesia, istilah
negara hukum sudah sangat populer. Pada umumnya istilah tersebut dianggap
sebagai terjemahan yang tepat dari dua istilah yaitu rechtstaat dan the role of law. Konsep tersebut selalu
dikaitkan dengan konsep perlindungan hukum, sebab ia tidak lepas dari soal-soal
perlindungan hak-hak asasi manusia. Tetapi, antara rechtstaat dan the role of
law itu masing-masing sebenarnya mempunyai latar belakang dan pelembagaan yang
berbeda meskipun keduanya pada intinya sama-sama menginginkan perlindungan bagi
HAM melalui pelembagaan peradilan yang bebas dan tidak memihak. Istilah
rechtstaat banyak dianut di negara-negara Eropa kontinental yang bertumpu pada
sistem civil law, sedangkan the role of law banyak dikembangkan di
negara-negara dengan tradisi anglosakson yang bertumpu pada sistem common law.
Unsur-unsur negara
hukum ini biasanya terdapat dalam konstitusi. Oleh karena itu, keberadaan
konstitusi dalam suatu negara hukum merupakan kemestian. Menurut Sri Soemantri,
tidak ada satu negara pun di dunia ini yang tidak mempunyai konstitusi atau
undang-undang dasar. Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak
dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Eksistensi Indonesia
sebagai negara hukum secara tegas disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945 (setelah
amandemen) yaitu pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa :
“Indonesia ialah negara yang berdasar atas
hukum (rechtsstaat)”.
Indikasi bahwa Indonesia menganut konsepsi
welfare state terdapat pada kewajiban pemerintah untuk mewujudkan tujuan-tujuan
negara, sebagaimana yang termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945
b). Daftar Pustaka
Moh .Mahfud MD , “Membangun Politik Hukum,menegakkan
Konstitusi”; Jakarta ,PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2010 .
http://bem-umk13.blogspot.com/2012/07/makalah-negara-hukum-by-m-agus-prasetiyo.html ,unduh: 29 mei
2013 ; 09.03
(http://kgsc.wordpress.com/2009/07/11/perkembangan-konsep-negara-hukum/ , Unduh : 29 mei
2013; jam : 08.48)
http://prabualiairlangga.blogspot.com/, unduh : 29 mei 2013 ; 09: 08
Hasbi Ali dkk ,” Politik Hukum” , Jakarta
Timur ,Sinar Grafika , 2010
0 Response to "Makalah Konsepsi Negara Hukum Terhadap Penegakan Hukum"
Post a Comment